Verifikasi


Nama Komunitas Wilayah Adat Yei
Propinsi Papua
Kabupaten/Kota MERAUKE
Kecamatan Ulilin, Elikobel, Jagebob, Sota
Desa Kampung Bupul Indah, Kampung Tanas, Kampung Kweel, Kampung Poo, Kampung Erambu, dan Kampung Toray
Peta Lokasi Wilayah Adat Perbesaran dengan Mousescroll

Kewilayah Adat

Luas 712.745 Ha
Satuan Yei
Kondisi Fisik Dataran,Lahan Basah,Bahari (Laut)
Batas Barat Berbatasan dengan Wilayah Adat Suku Malind Kumbe dan Malind Mbiyan Anim dengan batas berupa Sungai Kumbe, Sungai/Rawa Sakor, dan Hutan Alam.
Batas Selatan Berbatasan dengan Wilayah Adat Suku Malind Senayu; Kampung Kamnosari, Gurinda Jaya, Jagebob Raya dan dengan wilayah adat Suku Kanum di Sungai Maro dan Hutan Alam.
Batas Timur Berbatasan dengan Wilayah Adat Suku Boazi (Papua New Guinea) di sungai Flay dan rawa-rawa alam.
Batas Utara Berbatasan dengan Wilayah Adat Suku Malind Mbiyan Anim, dengan batas alam berupa: Hutan Alam, Titik Aliran Sungai Maro, Hutan Kayu Woge, sampai bertemu Sungai Flay di PNG.

Kependudukan

Jumlah KK 478
Jumlah Laki-laki 1427
Jumlah Perempuan 1226
Mata Pencaharian utama Berburu, Menangkap ikan, Meramu, Berkebun

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Suku Yei di masa lalu adalah orang-orang yang bermukim di sekitar atau di sebelah barat wilayah aliran Sungai Flay (Papua Nugini saat ini). Mereka hidup dan mencari makan dengan mengayau atau berburu binatang seperti babi hutan, rusa, dll., menangkap ikan, dan mengambil hasil hutan seperti sagu di areal-areal hutan di sekitar Sungai Flay. Suku Yei kala itu hidup berdampingan dan berinteraksi secara dinamis dengan beberapa sub-suku Buazi (bermukim di Papua Nugini saat ini), Suku Malind (bermukim di Provinsi Papua saat ini), dan suku-suku lainnya. Kebudayaan dan kehidupan Masyarakat Adat Suku Yei pada dasarnya sudah direkam oleh peneliti Belanda bernama Jan Van Baal lewat bukunya yang berjudul “Jan Verschueren’s description of Yei-nan culture, extracted from the posthumus papers.” (1982).

Seiring berkembangnya masa, berpindahlah leluhur suku Yei dari pinggir Sungai Flay menuju ke arah Barat Pulau Papua. Mereka menuju ke arah barat hingga tiba di aliran Sungai yang diberi nama Maro. Setidaknya terdapat beberapa titik utama perpindahan orang-orang Yei kala itu. Dari Sungai Flay menuju Barat dan singgah di sekitar Sungai Powerter (anakan sungai Maro di sebelah Timur). Di sungai Powerter, tetua-tetua suku Yei membagi wilayah ke setiap marga. Dari Sungai Powerter itu, marga-marga terkait membentuk kelompok pondokan marga secara tersebar di sebelah barat Sungai Maro.

Beberapa marga seperti Unijey kemudian berpindah ke sebelah selatan dan membentuk pemukiman yang disebut Kampung Moberter (Kampung Bupul Lama) selagi marga lain masih hidup bermukim secara tersebar dan berpindah-pindah di sebelah utara. Leluhur-leluhur Marga Unijey kemudian mengajak marga-marga lain untuk membentuk pemukiman bersama di Kampung Moberter. Marga-marga itu kemudian bersepakat untuk membentuk pemukiman baru yang kemudian diberi nama Samuting.

Sekitar 1915an masuklah 2 tokoh Misionaris yaitu Misionaris Soter yang menyebar Agama Katolik dan Misionaris Emanuel Manahutu menyebar Agama Protestan ke Kampung Samuting. Proses penyebaran kedua agama itu membuat kehidupan di Kampung Semuting amat dinamis di mana masyarakat juga terbagi menjadi dua. Pada kisaran tahun 1920an orang-orang Suku Yei kemudian membentuk kampung baru sesuai dengan ajaran agama yang diterimanya yaitu: Masyarakat Yei yang memeluk Katolik membentuk pemukiman yang diberinama Bupul (Kampung Bupul saat ini) sedangkan Mereka yang memeluk Agama Protestan membentuk pemukiman Tanas (Kampung Tanas saat ini).

Pada tahun 1921, rumah-rumah di Kampung Bupul mulai didirikan hingga dibuka sepenuhnya pada tahun 1925an. Di tahun 1925 itu juga, atau tepatnya pada tanggal 25 September, sekolah buatan Petrus Hoe Boer (1917) yang terletak di Samuting dipindahkan ke Kampung Bupul dengan Gurunya saat itu bernama Stanislaus Fovid dari Kepulauan Kei. Dua tahun kemudian atau pada 1927, gereja katolik pertama didirikan di Kampung Bupul.

Dituturkan terdapat supra-marga yaitu Mekiu yang membentuk Kampung Kweel di masa lalu. Pada suatu saat terdengarlah dari Kampung Kweel, ledakan senjata dari orang-orang asing yang berburu binatang di sekitar rawa yang tidak jauh dari Kampung Kweel. Orang-orang Yei di Kampung Kweel kala itu percaya bahwa mereka berinteraksi dengan Soekarno dan Hatta pada saat masa pengasingan di Boven Digul. Adapun marga lain yang hidup tersebar di kemudian hari diajak oleh Leluhur Marga Mekiu untuk membentuk satu pemukiman bersama. Marga-marga itu kemudian bersepakat untuk membangun pemukiman di Areal sebelah Utara Kampung Kweel saat ini sebelum akhirnya Berpindah mengembangkan Kampung Kweel baru hingga saat ini.

Adapula beberapa marga yang hidup tersebar di sepanjang aliran anakan sungai Maro yang dinamakan Sungai Barke. Marga-marga yang tersebar di Sungai Barke itu kemudian bergabung dengan Tiga Marga yang selalu bersama yaitu Kabujai, Yapsai, dan Cogeljai yang bermukin di Belmon untuk membuat Pemukiman baru di dekat Sungai Maro yang diberinama Yulambu. Pemukiman di Yelambu itu kemudian berpindah lagi ke arah selatan dan terbentuklah Kampung Yelambu baru atau dikenal dengan Kampung Erambu yang berkembang hingga saat ini.

Di sebelah barat Kampung Erambu saat ini terdapat Kampung Torai. Marga-marga dari Kampung Torai di masa lalu juga hidup tersebar di sekitar Sungai Calutar (anakan Sungai Maro). Mereka kemudian bersepakat untuk membentuk kesatuan pemukiman di Wilayah yang dinamakan Jejeruk. Beberapa tahun kemudian pemukiman Jejeruk berpindah ke sebuah tempat yang dinamakan Yawar. Oleh karena ketidakcocokan alam, marga-marga itu berpindah lagi ke Jejeruk. Dari Jejeruk, mereka berpindah kembali ke sebelah timur dan membentuk Kampung Arwar. Marga-marga yang bermukim di Kampung Arwar kemudian berpindah ke sebelah selatan dan mengembangkan Kampung Trai (Kampung Torai saat ini) hingga saat ini.

Adapula marga-marga yang tersebar di sekitar wilayah Donggea dan Blandinkakayu yang bersepakat untuk berkumpul dan bermukim di Donggea. Sekitar tahun 1950an, marga-marga yang bermukim di Donggea itu kemudian berpindah ke arah Timur dan mengembangkan Kampung Lama Polka. Pada sekitar tahun 1962, Kampung Lama di Polka itu dipindahkan ke sebalah selatan dan membentuk Kampung Poo yang baru hingga saat ini.

Pada sekitar tahun 1972an, terjadi kekeringan panjang di hampir seluruh wilayah adat Yei. Kala itu, kemarau yang berkepanjangan tidak hanya menyebabkan kekeringan tetapi juga membakar hutan hingga menghanguskan pohon-pohon tanaman pangan seperti sagu, kelapa, dll. serta pondokan-pondokan masyarakat adat Yei di hutan-hutan. Meskipun demikian, bencana kekeringan dan kebakaran hutan tersebut tidak sampai menimbulkan korban jiwa dari pihak Masyarakat Adat Yei.

Dituturkan bahwa sejak tahun 1990an, Wilayah Adat Suku Yei dijadikan daerah transmigran dan pengembangan kebun tanaman keras. Orang Yei berkata bahwa “Saat itu, orang pintar Jawa dan orang asing melakukan survey.” Saat itu pemerintah tidak mencari tahu asal usul tanah objek daerah transmigran dan menetapkan begitu saja. Kejadian itu terjadi pada masa Bupati Merauke dijabat oleh Sukarho dengan Dinas Transmigrasi bernama Martin Supalinggih. Sejak itu, berkembanglah kampung-kampung transmigran di wilayah adat Yei seperti kampung Mimi yang merupakan kampung transmigran pertama di Distrik Jagebob, Kampung Sipias di Distrik Elikobel, dan Kampung Belbeland sebagai kampung transmigran pertama di Distrik Ulilin. Pada tahun 1996, kampung-kampung adat suku Yei kemudian berubah menjadi kampung administratif secara bertahap. Adapun perkembangan desa-desa transmigrasi yang berdampingan dengan kampung-kampung adat orang-orang Yei berdasarkan pembagiannya secara administratif saat ini adalah sebagai berikut:

1. Distrik Ulilin: Kampung Baidup, Kampung Belbeland, dan Kampung Kireli
2. Distrik Elikobel: Kampung Bupul Indah (Bupul), Kampung Kweel, Kampung Tanas, Kampung Totob (Toftof), Kampung Bumun (B’men). Kampung Bunggei (Bunggai), Kampung Bower (Bow’r), Kampung Kandrakae (Alongglong), Kampung Gerisar, Kampung Enggal Jaya (Yenggal), Kampung Metat Makmur (Wonkayl), dan Kampung Sipias.
3. Distrik Jagebob: Kampung Poo, Kampung Nalkin, Kampung Blandinkakayu, Kampung Obattrauw, Kampung Melimmegikar, Kampung Yamunan Jaya (Ymunan), Kampung Makartin Jaya, Kampung Kartini, Kampung Anggerpermagi, Kampung Wenda Asri, Kampung Mimi Baru, Kampung Gurinda Jaya, Kampung Kamnau Sari.
4. Distrik Sota: Kampung Erambu (Yelambu), dan Kampung Toray (Tray)

Babak baru dinamika kehidupan Masyarakat Adat Yei dengan pendatang dimulai dengan masuknya perusahaan perkebunan kelapa sawit yaitu PT. Agrinusa Persada Mulya (Aimes Grup) yang ingin beroperasi di sekitar Kampung Sipias sekitar tahun 2004. Pihak perusahaan bertemu muka dengan marga-marga pemilik tanah di sana dan berproses mengalihkan hak milik serta pembersihan lahan hingga kurang lebih 10 tahun. Saat ini, tanaman sawit milik perusahaan perkebunan tersebut sudah berumur 6 tahun dan memasuki usia produktif. Selain PT APM adapula perusahaan kebun kelapa sawit yang masuk yaitu PT. Internusa Jaya Sejahtera yang menjalankan operasi kebun sawit di Distrik Ulilin tepatnya masuk ke wilayah Kampung Baidup, Kampung Kireli, dan Kampung Belbeland.

Pada tahun 2016, pasca pemetaan wilayah adat Yei ditemukan titik persinggungan batas antara orang-orang Yei dan orang-orang dari Suku Mbiyan Anim di sekitar Sungai Kumb. Proses penyepakatan batas antara kedua masyarakat adat itu masih berlangsung hingga saat ini ke arah yang positif.

Hak atas tanah dan pengelolaan Wilayah

Yerensow Kar/Yerencow Kar:
Areal Sumber Penghidupan yang diidentifikasi oleh Masyarakat Suku Yei terletak di sekitar Sungai Sungai Maro yaitu dari Barat Sungai Maro hingga ke Perbatasan di sebelah barat hingga timur Sungai Maro hingga beberapa kilometer ke sebelah timur. Areal ini secara rutin (harian) dituju untuk mencari bahan makanan dan lain sebagainya karena terdapat dusun sagu, kebun, ladang, areal berburu atau mencari ikan, rawa, anakan sungai, dan lain sebagainya. Adapula beberapa bekas kampung tua dan tempat-tempat keramat di dalam areal ini yang dilindungi.

Kabekar/Hargekar:
Areal Lindung, Cadangan, dan Pemanfaatan Terbatas yang diidentifikasi Masyarakat Suku Yei sebagai tempat yang sesekali atau secara berkala saja dituju dan sebagian besar terletak di sebelah timur (jauh) dari Sungai Maro sampai ke Sungai Flay di Papua Nugini. Areal ini memiliki beberapa bentang alam yaitu hutan rimba/primer/alami, rawa-rawa (permanen maupun musiman), lembah dengan urat-urat tanah, areal bermain hewan seperti burung Cenderawasih, burung Kasuari, Kangguru, dll., kampung-kampung lama yang memiliki rute perjalanan leluhur, tempat keramat, dan lain-lain.

Wankorar: Areal Pemukiman Suku Yei yang tersebar di Enam Kampung  
Ragam ruang hidup terebut dimiliki oleh masyarakat Suku Yei sebagai hak kolektif/komunal marga atau lahan marga yang disebut dalam bahasa lokal sebagai Ywallel Kar yang tiap-tiap marga/fam memiliki totem berupa binatang maupun tumbuhan yang dijaga/dilindungi di areal Ywallel Kar terkait. Ada kearifan lokal dalam ujaran “Jangan tinggal terus, nanti kamu pindah. Jangan tanam (tanaman) keras, nanti kamu pindah. Nanti baku rebut anak-anak saya.” bahwa tiap-tiap keluarga dari marga-marga itu bukanlah sebagai pemilik hak atas Ywallel Kar tetapi sebagai yang memiliki hak kelola saja.

Peralihan hak milik tanah marga/klen dapat terjadi melalui pewarisan kepada keturunan laki-laki dari tiap marga/klen tersebut sejak kelahirannya secara alami. Pengambilan keputusan tentang peralihan hak milik tanah antar anggota marga/klen yang sama berada di keturunan laki-laki yang tertua dari marga/klen terkait.

Jika terdapat kasus di mana suatu klen/marga tidak memiliki keturunan laki-laki, maka marga itu harus meminta anak laki-laki dari marga tetangga agar hak milik atas tanah itu dapat dialihkan kepada generasi selanjutnya. Anak laki-laki dari marga lain itu berubah menjadi marga yang menerimanya sebagai anak angkat. Ia kemudian meneruskan marga dan hak tanah atas marga barunya.

Keturunan perempuan dalam suatu marga hanya dapat memperoleh hak kelola (pinjam pakai) di atas tanah marga/klennya. Pemberian hak kelola itu dilakukan melalui proses kesepakatan dalam musyawarah marga/klen dan dalam jangka waktu tertentu harus dikembalikan kepada marga. Keturunan perempuan ini hanya boleh menanam tanaman jangka pendek saja, jika ia menanam tanaman jangka panjang maka tanaman itu menjadi hak milik marga tetapi ia dapat mengambil manfaat atas tanaman tersebut dengan izin.

Jika suatu marga/klen hanya punya anak laki-laki dan tidak punya anak perempuan sehingga tidak dapat terjadi pertukaran anak perempuan antar-supramarga (aturan kawin mawin antar-supramarga), maka marga tersebut dapat meminta anak perempuan dari marga lain (dalam supramarga yang sama) sehingga dapat saling bertukar anak perempuan. Di kemudian hari anak laki-laki dari marga yang mengangkat anak perempuan itu harus mengembalikan anak laki-laki/anak perempuan dari keturunannya kepada marga yang memberikan anak perempuan tersebut.

Peralihan hak milik kepada pihak lain selain dengan proses di atas juga dapat terjadi melalui Jual Beli.  

Kelembagaan Adat

Nama Lembaga Adat Yei
Struktur Abennkrau atau para Tetua Penasehat Adat Gabllu atau Kepala Suku Yei Cumaillu atau Ketua-Ketua Adat tingkat Kampung Ketua/Kepala Marga Kepala Suku Yei dipilih dengan cara pemilihan umum oleh seluruh anggota suku. Calon-calon kepala suku dipilih dari tokoh adat dari setiap kampung adat yang berjumlah 6. Pasca terpilih terdapat prosesi pengukuhan oleh para Tetua Adat dan disaksikan oleh pihak pemerintah setempat dan suku-suku tetangga. Tidak ada periodisasi penjabatan kepala suku kecuali hingga yang bersangkutan tidak mampu lagi atau dianggap tidak cakap lagi oleh mayoritas anggota suku. Kepala Suku Yei kemudian memilih Ketua-ketua adat denan mendengar pertimbangan dari anggota-anggota suku.
Penasehat Adat;
Menasehati kepala suku dan wakil kepala suku Kepala Suku; Bertangungjawab untuk melindungi seluruh wilayah masyarakat adat suku Yei (urusan adat, urusan dengan pemerintah, urusan dengan suku-suku lain)

Kepala Suku;
Bertangungjawab untuk melindungi seluruh wilayah masyarakat adat suku Yei (urusan adat, urusan dengan pemerintah, urusan dengan suku-suku lain)

Ketua-Ketua Adat Kampung;
Bertangungjawab untuk melindungi masyarakat adat di tingkat kampung seluruh wilayah suku Yei (urusan adat di tingkat kampung, mengangkat/mempertahankan nilai-nilai adat yang ada, urusan adat dengan suku-suku lain)

Ketua/Kepala Marga;
Memimpin anggota marga dan bersama anggota marga melakukan pengambilan keputusan terkait urusan marga seperti misal 1. pengelolaan, pembagian, dan pemindahalihan hak atas tanah marga (warisan dan lain-lain), 2. Proses perkawinan anggota marga dengan pihak lain, 3. Menengahi perselisihan antar-anggota marga maupun menjadi perwakilan dalam penyelesaian perselisihan antara anggota marga dan pihak lain, dan lain sebagainya.  
Musyawarah adat dan mufakat untuk mengambil sebuah keputusan adat dilakukan dengan beberapa tujuan yaitu: Peradilan Adat, Penyelesaian Perselisihan, dan Pengambilan Keputusan. Musyawarah Adat dalam Budaya Suku Yei terdiri dari beberapa tingkatan yaitu: Musyawarah Adat Tingkat Suku, Musyawarah Adat Tingkat Kampung, dan Musyawarah Adat Tingkat Marga atau Antar-Marga.  

Hukum Adat

- Tanah Marga tidak boleh dimiliki oleh orang luar marga, tetapi boleh digunakan dengan sepengetahuan/seizin dari marga terkait.
- Larangan untuk tidak mencari makan di wilayah dusun marga lain tanpa ijin
- Larangan dari marga yang mempunyai totem/mater ikan untuk tidak mencari ikan di sungai dan rawa karena berhubungan dengan totem/mater dari marga tertentu tanpa ijin,
- Larangan bagi orang sakit, keluarga dari ibu yang baru bersalin dan semua warga kampung untuk tidak boleh mencari makan ke sungai/rawa/hutan
- Apabila terjadi selisih pendapat terkait Batas Tanah Adat antar-anggota suku atau antar-marga, maka diselesaikan dengan membuat kesepakatan baru berdasar pada gambar peta.
- Dilarang mengambil hasil di dusung sagu orang lain, jika melanggar maka dilaksanakan “duduk damai”.
- Dilarang melintas tanah marga orang lain tanpa izin, jika melanggar maka dikenakan denda berupa penyediaan wati atau minuman khas suku yei.
- Dilarang berburu di tanah marga orang lain, jika tertangkap maka akan dirampas hewan buruannya.
- Dilarang untuk mengambil binatang air dan darat yang menjadi totem dari marga di tanah marga itu tanpa izin.
- Dilarang memasuki tempat sacral sembarangan selain Tuan Dusung dan Tuan Marga. Dipercaya akan celaka atau sakit bagi yang melanggar.
- Tidak boleh menebang pohon sembarangan terutama yang menjadi Totem Marga di Tanah Marga terkait.
- Tidak boleh menebang pohon dan membuka kebun di dekat sumber air. Dipercaya bahwa terdapat peringatan alam jika ada yang melanggar.
- Tidak boleh menjual hasil hutan kecuali hanya sedikit saja.

Adapun Denda adat dapat berupa uang, tanaman wati (tanaman adat/lokal), pembukaan kebun untuk tanam sagu baru. Denda adat berlaku sesuai dengan jenis pelanggaran yang dibuat.  
- Untuk perkawinan antar-anggota suku Yei, ditetapkan sistem kawin silang antara supramarga Nak dan supramarga Tale’.
- Apabila terjadi perkawinan sesame supramarga maka hukum kawinnya batal. Sanksi yang dikenakan adalah dengan ditegur untuk segera bercerai. Jika tidak mau cerai, maka dimusyawarahkan untuk ‘dibunuh’ yaitu dengan memindahkan pelaku menjadi bagian dari fam lain (dikucilkan).
- Dilarang menghina, memfitnah, dan mengancam, apabila melanggar dikenakan sanksi berupa tanam sagu, pinang, sirih, untuk keluarga korban di tanah keluarga korban dan memastikan tanaman itu tumbuh hingga dapat dimanfaatkan hasilnya.
- Dilarang berzina, bagi yang melanggar dikenakan beberapa peringatan dengan jenis hukuman yaitu dipanah (di masa lalu).
- Dilarang berselingkuh, bagi yang tertangkap basah melanggar dihukum rajam oleh suami dan laki-laki dari keluarga istri.
- Pencurian saat ini berlaku hukum positif. Di masa lalu, jika ketahuan mencuri maka diberi peringatan dengan diberi anak panah, apabila masih mengulangi maka akan dipanah mati.
- Perkelahian antar-anggota suku Yei diselesaikan secara adat.
- Dilarang membunuh, apabila melanggar maka harus menyerahkan anak laki-laki/perempuan untuk menjadi bagian dari keluarga korban.
- Dilarang memperkosa, apabila melanggar dikenakan sanksi berupa denda uang yang diserahkan kepada keluarga korban.

Adapun Denda adat dapat berupa uang, tanaman wati (tanaman adat/lokal), pembukaan kebun untuk tanam sagu baru. Denda adat berlaku sesuai dengan jenis pelanggaran yang dibuat.  
Pada awal tahun 2000an di Kampung Bupul, terjadi kasus hamil di luar nikah antar-anggota suku yei. Pelaku yang menghamili dikenakan sanksi berupa denda uang yang diserahkan kepada keluarga korban.

Pada bulan Oktober 2018 di Kampung Tanas, terjadi pelanggaran antar-anggota suku Yei yaitu mencaci maki perempuan. Pelaku dikenakan sanksi menanam 10 pohon sagu di tanah keluarga korban dan wajib memeliharanya hingga siap panen.

Pada bulan November 2018 di Kampung Tanas, orang luar suku Yei dan melakukan pelanggaran di suatu Tanah Marga. Pelaku terkena sawan berupa “Bula Tuing” yang menjadi totem marga terkait. Pelaku tidak dapat diobati meski sudah dibawa ke rumah sakit. Ia kemudian dibawa kembali ke Kampung Tanas dan diobati oleh Marga yang memiliki Totem terkait dengan media air yang kemudian sembuh.  

Keanekaragaman Hayati

Jenis Ekosistem
Ekosistem Darat Alami
Ekosistem Perairan
Sumber  
Sumber Pangan Sagu, Pisang, Umbi-umbian, Kelapa, Jagung, Sayuran, Buah-buahan
Sumber Kesehatan & Kecantikan - Batang Serey; Untuk menyembuhkan penyakit Gula/Diabetes - Halia/Jahe; Menyebuhkan sakit perut - Kulit pohon susu; menyembuhkan penyakiot malaria - Buah Kemiri; Untuk meluruskan rambut/mempercantik rambut - Bunga Pohon Merau/Kayu Kapas; untuk wangi-wangian - Air Tali Rotan; menyuburkan rambut dan menyembuhkan penyakit kencing batu
Papan dan Bahan Infrastruktur Jenis-jenis kayu tertentu yang baik, tali rotan (mengikat), daun sagu (atap rumah), gaba-gaba sagu (dinding rumah), kulit bus (atap rumah), kulit nibung (lantai rumah)
Sumber Sandang Pucuk Sagu yang masih muda untuk cawat, kulit kayu (kwir, wanggo, tajam, hruk-hruk, tber)
Sumber Rempah-rempah & Bumbu Daun genemo/melinjo yang masih muda, Daun paku-paku (pakis), arang pelepa sagu di bagian dalam dan sabut kelapa; untuk garam adat bisa di makan dengan buah-buhan hutan yang bisa di makan
Sumber Pendapatan Ekonomi Daging (babi, kasuwari, rusa, dll), Ikan (koloso/arwana, mujair, akap, gastor), udang, buaya, kura-kura, ular, biawak, sagu, pisang, umbi-umbian, rotan, gambir, kayu gaharu, akar pakis, sarang semut, kayu balok/papan.