Suku Yei di masa lalu adalah orang-orang yang bermukim di sekitar atau di sebelah barat wilayah aliran Sungai Flay (Papua Nugini saat ini). Mereka hidup dan mencari makan dengan mengayau atau berburu binatang seperti babi hutan, rusa, dll., menangkap ikan, dan mengambil hasil hutan seperti sagu di areal-areal hutan di sekitar Sungai Flay. Suku Yei kala itu hidup berdampingan dan berinteraksi secara dinamis dengan beberapa sub-suku Buazi (bermukim di Papua Nugini saat ini), Suku Malind (bermukim di Provinsi Papua saat ini), dan suku-suku lainnya. Kebudayaan dan kehidupan Masyarakat Adat Suku Yei pada dasarnya sudah direkam oleh peneliti Belanda bernama Jan Van Baal lewat bukunya yang berjudul “Jan Verschueren’s description of Yei-nan culture, extracted from the posthumus papers.†(1982).
Seiring berkembangnya masa, berpindahlah leluhur suku Yei dari pinggir Sungai Flay menuju ke arah Barat Pulau Papua. Mereka menuju ke arah barat hingga tiba di aliran Sungai yang diberi nama Maro. Setidaknya terdapat beberapa titik utama perpindahan orang-orang Yei kala itu. Dari Sungai Flay menuju Barat dan singgah di sekitar Sungai Powerter (anakan sungai Maro di sebelah Timur). Di sungai Powerter, tetua-tetua suku Yei membagi wilayah ke setiap marga. Dari Sungai Powerter itu, marga-marga terkait membentuk kelompok pondokan marga secara tersebar di sebelah barat Sungai Maro.
Beberapa marga seperti Unijey kemudian berpindah ke sebelah selatan dan membentuk pemukiman yang disebut Kampung Moberter (Kampung Bupul Lama) selagi marga lain masih hidup bermukim secara tersebar dan berpindah-pindah di sebelah utara. Leluhur-leluhur Marga Unijey kemudian mengajak marga-marga lain untuk membentuk pemukiman bersama di Kampung Moberter. Marga-marga itu kemudian bersepakat untuk membentuk pemukiman baru yang kemudian diberi nama Samuting.
Sekitar 1915an masuklah 2 tokoh Misionaris yaitu Misionaris Soter yang menyebar Agama Katolik dan Misionaris Emanuel Manahutu menyebar Agama Protestan ke Kampung Samuting. Proses penyebaran kedua agama itu membuat kehidupan di Kampung Semuting amat dinamis di mana masyarakat juga terbagi menjadi dua. Pada kisaran tahun 1920an orang-orang Suku Yei kemudian membentuk kampung baru sesuai dengan ajaran agama yang diterimanya yaitu: Masyarakat Yei yang memeluk Katolik membentuk pemukiman yang diberinama Bupul (Kampung Bupul saat ini) sedangkan Mereka yang memeluk Agama Protestan membentuk pemukiman Tanas (Kampung Tanas saat ini).
Pada tahun 1921, rumah-rumah di Kampung Bupul mulai didirikan hingga dibuka sepenuhnya pada tahun 1925an. Di tahun 1925 itu juga, atau tepatnya pada tanggal 25 September, sekolah buatan Petrus Hoe Boer (1917) yang terletak di Samuting dipindahkan ke Kampung Bupul dengan Gurunya saat itu bernama Stanislaus Fovid dari Kepulauan Kei. Dua tahun kemudian atau pada 1927, gereja katolik pertama didirikan di Kampung Bupul.
Dituturkan terdapat supra-marga yaitu Mekiu yang membentuk Kampung Kweel di masa lalu. Pada suatu saat terdengarlah dari Kampung Kweel, ledakan senjata dari orang-orang asing yang berburu binatang di sekitar rawa yang tidak jauh dari Kampung Kweel. Orang-orang Yei di Kampung Kweel kala itu percaya bahwa mereka berinteraksi dengan Soekarno dan Hatta pada saat masa pengasingan di Boven Digul. Adapun marga lain yang hidup tersebar di kemudian hari diajak oleh Leluhur Marga Mekiu untuk membentuk satu pemukiman bersama. Marga-marga itu kemudian bersepakat untuk membangun pemukiman di Areal sebelah Utara Kampung Kweel saat ini sebelum akhirnya Berpindah mengembangkan Kampung Kweel baru hingga saat ini.
Adapula beberapa marga yang hidup tersebar di sepanjang aliran anakan sungai Maro yang dinamakan Sungai Barke. Marga-marga yang tersebar di Sungai Barke itu kemudian bergabung dengan Tiga Marga yang selalu bersama yaitu Kabujai, Yapsai, dan Cogeljai yang bermukin di Belmon untuk membuat Pemukiman baru di dekat Sungai Maro yang diberinama Yulambu. Pemukiman di Yelambu itu kemudian berpindah lagi ke arah selatan dan terbentuklah Kampung Yelambu baru atau dikenal dengan Kampung Erambu yang berkembang hingga saat ini.
Di sebelah barat Kampung Erambu saat ini terdapat Kampung Torai. Marga-marga dari Kampung Torai di masa lalu juga hidup tersebar di sekitar Sungai Calutar (anakan Sungai Maro). Mereka kemudian bersepakat untuk membentuk kesatuan pemukiman di Wilayah yang dinamakan Jejeruk. Beberapa tahun kemudian pemukiman Jejeruk berpindah ke sebuah tempat yang dinamakan Yawar. Oleh karena ketidakcocokan alam, marga-marga itu berpindah lagi ke Jejeruk. Dari Jejeruk, mereka berpindah kembali ke sebelah timur dan membentuk Kampung Arwar. Marga-marga yang bermukim di Kampung Arwar kemudian berpindah ke sebelah selatan dan mengembangkan Kampung Trai (Kampung Torai saat ini) hingga saat ini.
Adapula marga-marga yang tersebar di sekitar wilayah Donggea dan Blandinkakayu yang bersepakat untuk berkumpul dan bermukim di Donggea. Sekitar tahun 1950an, marga-marga yang bermukim di Donggea itu kemudian berpindah ke arah Timur dan mengembangkan Kampung Lama Polka. Pada sekitar tahun 1962, Kampung Lama di Polka itu dipindahkan ke sebalah selatan dan membentuk Kampung Poo yang baru hingga saat ini.
Pada sekitar tahun 1972an, terjadi kekeringan panjang di hampir seluruh wilayah adat Yei. Kala itu, kemarau yang berkepanjangan tidak hanya menyebabkan kekeringan tetapi juga membakar hutan hingga menghanguskan pohon-pohon tanaman pangan seperti sagu, kelapa, dll. serta pondokan-pondokan masyarakat adat Yei di hutan-hutan. Meskipun demikian, bencana kekeringan dan kebakaran hutan tersebut tidak sampai menimbulkan korban jiwa dari pihak Masyarakat Adat Yei.
Dituturkan bahwa sejak tahun 1990an, Wilayah Adat Suku Yei dijadikan daerah transmigran dan pengembangan kebun tanaman keras. Orang Yei berkata bahwa “Saat itu, orang pintar Jawa dan orang asing melakukan survey.†Saat itu pemerintah tidak mencari tahu asal usul tanah objek daerah transmigran dan menetapkan begitu saja. Kejadian itu terjadi pada masa Bupati Merauke dijabat oleh Sukarho dengan Dinas Transmigrasi bernama Martin Supalinggih. Sejak itu, berkembanglah kampung-kampung transmigran di wilayah adat Yei seperti kampung Mimi yang merupakan kampung transmigran pertama di Distrik Jagebob, Kampung Sipias di Distrik Elikobel, dan Kampung Belbeland sebagai kampung transmigran pertama di Distrik Ulilin. Pada tahun 1996, kampung-kampung adat suku Yei kemudian berubah menjadi kampung administratif secara bertahap. Adapun perkembangan desa-desa transmigrasi yang berdampingan dengan kampung-kampung adat orang-orang Yei berdasarkan pembagiannya secara administratif saat ini adalah sebagai berikut:
1. Distrik Ulilin: Kampung Baidup, Kampung Belbeland, dan Kampung Kireli
2. Distrik Elikobel: Kampung Bupul Indah (Bupul), Kampung Kweel, Kampung Tanas, Kampung Totob (Toftof), Kampung Bumun (B’men). Kampung Bunggei (Bunggai), Kampung Bower (Bow’r), Kampung Kandrakae (Alongglong), Kampung Gerisar, Kampung Enggal Jaya (Yenggal), Kampung Metat Makmur (Wonkayl), dan Kampung Sipias.
3. Distrik Jagebob: Kampung Poo, Kampung Nalkin, Kampung Blandinkakayu, Kampung Obattrauw, Kampung Melimmegikar, Kampung Yamunan Jaya (Ymunan), Kampung Makartin Jaya, Kampung Kartini, Kampung Anggerpermagi, Kampung Wenda Asri, Kampung Mimi Baru, Kampung Gurinda Jaya, Kampung Kamnau Sari.
4. Distrik Sota: Kampung Erambu (Yelambu), dan Kampung Toray (Tray)
Babak baru dinamika kehidupan Masyarakat Adat Yei dengan pendatang dimulai dengan masuknya perusahaan perkebunan kelapa sawit yaitu PT. Agrinusa Persada Mulya (Aimes Grup) yang ingin beroperasi di sekitar Kampung Sipias sekitar tahun 2004. Pihak perusahaan bertemu muka dengan marga-marga pemilik tanah di sana dan berproses mengalihkan hak milik serta pembersihan lahan hingga kurang lebih 10 tahun. Saat ini, tanaman sawit milik perusahaan perkebunan tersebut sudah berumur 6 tahun dan memasuki usia produktif. Selain PT APM adapula perusahaan kebun kelapa sawit yang masuk yaitu PT. Internusa Jaya Sejahtera yang menjalankan operasi kebun sawit di Distrik Ulilin tepatnya masuk ke wilayah Kampung Baidup, Kampung Kireli, dan Kampung Belbeland.
Pada tahun 2016, pasca pemetaan wilayah adat Yei ditemukan titik persinggungan batas antara orang-orang Yei dan orang-orang dari Suku Mbiyan Anim di sekitar Sungai Kumb. Proses penyepakatan batas antara kedua masyarakat adat itu masih berlangsung hingga saat ini ke arah yang positif. |