PROFIL FOKER LSM PAPUA
SEJARAH SINGKAT
Inisiatif didirikannya Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat Papua disingkat FOKER LSM PAPUA atau yang dikenal dengan sebutan FOKER, muncul dari sebuah putaran diskusi sekelompok aktivis LSM yang memiliki perhatian khusus terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat di propinsi Irian Jaya ketika itu (sekarang provinsi Papua dan provinsi Papua Barat). Putaran diskusi ini dimulai sejak awal 1989 yang dilatarbelakangi oleh keluarnya kebijakan presiden RI (Soeharto) pada 4 April 1989 tentang pemekaran orientasi pembangunan untuk Indonesia bagian timur (IBT). Para aktivis LSM ketika itu merasa kuatir bahwa kebijakan pemerintah pusat ini dapat menyebabkan terjadinya eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara besar-besaran di Tanah Papua. Kekuatiran tersebut didasarkan pada bukti empiris bahwa kecenderungan pembangunan di Tanah Papua (Irian Jaya saat itu) yang dijalankan oleh pemerintah ketika itu, secara sistematis telah meminggirkan masyarakat Papua dari penguasaan di ruang publik dalam berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum yang berdampak pada terjadinya pelanggaran HAM. Kenyataannya sampai saat ini kondisi tersebut belum banyak berubah. Kekuatiran ini juga merupakan cerminan dari pemanfaatan sumber daya alam secara eksploitatif yang sudah lebih dahulu terjadi di kawasan Indonesia bagian Barat, dan telah menyebabkan proses peminggiran terhadap masyarakat lokal atau masyarakat asli pemilik sumber daya alam.
Para aktivis LSM saat itu, memandang bahwa proses pembangunan di Tanah Papua mutlak menuntut peranserta masyarakat sebagai bagian sentral dan tujuan dari setiap proses pembangunan. Peranserta masyarakat harusnya menjadi faktor esensial dalam setiap strategi pencapaian tujuan pembangunan, bukan sebaliknya masyarakat ditinggalkan bahkan sengaja disingkirkan. Kondisi objektif menunjukkan bahwa “kemiskinan” yang berlangsung selama ini merupakan proses pemiskinan terstruktur yang disebabkan tidak adanya peluang dan ruang bagi masyarakat berperan aktif dalam pengambilan keputusan sehingga orang Papua tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam mengakses dan memanfaatkan sumber daya (alam, sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum) yang tersedia yang seharusnya menjadi hak mereka.
Dalam sebuah diskusi yang diberi tema “diskusi putaran pertama” yang dilaksanakan di Jayapura pada 27 dan 28 Maret 1990, yang diikuti para tokoh LSM Papua waktu itu antara lain, Bambang Widjoyanto dan Budi Setyanto dari LBH Jayapura, Thaha M. AL Hamid dari PPM Jayapura, Budi Subiyanto dan Roy Tjiong dari Yayasan Bethesda Jayapura, SP Morin, Cliff R. Marlessy, dan Tony Rahawarin dari Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD) Jayapura, George Aditjondro dari Universitas Satya Wacana Salatiga, Aristides Katoppo dari Suara Pembaharuan Jakarta, Feliks Wambrauw dan Max Prawar dari Klasis GKI Biak Timur, Robby Helwedery dari Yayasan Mitra Karya Merauke, Zr. Benedicta dari Delsos Keuskupan Asmat, Jhon Nakiaya dari SKP Keuskupan Enarotali Paniai, Herman Tebay dari Sinepup Wamena, Didimus Tebay dari P5 Moanemani Paniai, Max Fofid dari Yayasan Santo Antonius (YASANTO) Merauke, Max Mahuse dari Yapsel Merauke, M. St, E. Kilmaskossu dari PSL UNCEN Manokwari, Maria R. Ruwiastuti dari YKPHM Jayapura, Br. Theo v.d. Broek dari Keuskupan Jayapura.
Hasil diskusi putaran pertama ini berkembang dan mengerucut pada kesepakatan untuk melakukan gerakan bersama guna mempersiapkan berbagai strategi mendorong peranserta masyarakat Papua dalam penguasaan berbagai sumber daya (ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum). Untuk menjalankan kesepakatan ini, dibentuklah sebuah tim kerja (Alert Committee) yang berperan mengelola rencana kerja yang sudah disepakati.
Setelah lebih dari satu tahun berjalan, pada 28 sampai 31 Agustus 1991 dilakukan “diskusi putaran kedua” yang kembali dilaksanakan di Jayapura, dengan tujuan melakukan evaluasi terhadap hasil kerja Alert Committee. Diskusi putaran kedua ini kembali dihadiri secara lengkap oleh para tokoh LSM yang menghadiri diskusi putaran pertama. Dari evaluasi yang dilakukan pada diskusi putaran kedua, peserta memandang bahwa pilihan model dalam bentuk tim kerja (alert committee) kurang efektif menjalankan berbagai peran dan agenda penting yang sudah disepakati. Menindaklanjuti penilaian tersebut, pada 31 Agustus 1991, bentuk alert committee ini ditingkatkan menjadi sebuah forum jaringan kerja sama antar LSM se-Papua. Forum jaringan tersebut kemudian dinyatakan secara formal dalam statuta yang disepakati dan diberi nama Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat Papua atau disingkat FOKER LSM Papua, dan 31 Agustus diperingati sebagai tanggal berdirinya FOKER LSM Papua.
Dengan demikian, secara historis FOKER didirikan oleh 11 organisasi LSM, 6 organisasi di bawah Gereja dan 1 organisasi Perguruan Tinggi, sehingga seluruhnya berjumlah 17 organisasi yang sekaligus merupakan Badan Pendirinya. Mereka antara lain; Sebelas (11) organisasi LSM, yaitu: LBH Jayapura, YPMD Jayapura, YKPHM Jayapura (sekarang pt.PPMA), YKB Jayapura, PPM Jayapura, INAU JANGGI Jayapura, YMK Merauke, YASANTO Merauke, YAPSEL Merauke, YP5 Maonemani, RUMSRAM Biak. Enam (6) organisasi Gereja, yaitu: DELSOS Keuskupan Jayapura, DELSOS Keuskupan Asmat, DELSOS Keuskupan Merauke, DELSOS Keuskupan Sorong, LITBANG Sinode GKI Jayapura, Klasis GKI Biak Timur. Sedangkan satu (1) organisasi Perguruan Tinggi, yaitu Pusat Studi Lingkungan (PSL) Fakultas Pertanian UNCEN Manokwari (sekarang UNIPA),
KEBERADAAN, PERJALANAN DAN PERKEMBANGAN
Keberadaan FOKER LSM Papua terus berjalan dan berkembang dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan zaman dan semua hal yang memengaruhinya, baik dalam cara penanganan isu, pengembangan program, model pendekatan, maupun pengelolaan kelembagaan. Kepemimpinan terus berganti, demikian permasalahan yang dihadapi juga semakin kompleks. Sebagai sebuah Forum yang beranggotakan organisasi-organisasi yang bersifat independen, keanggotaan FOKER yang disebutnya sebagai “Partisipan” juga mengalami perkembangan dengan berbagai isu yang menjadi fokus di wilayah kerja masing-masing. Sampai saat ini partisipan FOKER berjumlah 110 organisasi, yang tersebar dan bekerja dalam berbagai isu pembangunan di Tanah Papua, antara lain: isu lingkungan hidup, isu sumber daya alam, isu pengembangan ekonomi kerakyatan, isu sosial budaya, isu hukum, isu HAM, isu perempuan dan anak, pendampingan dan penguatan kapasitas masyarakat adat, isu kesehatan, isu pendidikan dan pengembangan keterampilan, dan isu-isu lainnya.
Sebagai organisasi yang bertumpu pada kekuatan jaringan, FOKER dituntut menjalankan arah dan strategi yang baik dalam penguatan kelembagaan dan pengembangan program-program yang memungkinkan Partisipan dan mitra-mitranya dapat menjalankan aktivitas pada wilayah dampingan masing-masing. Melalui Partisipannya yang berjumlah 110 organisasi saat ini, FOKER juga telah memberikan kontribusi besar bagi kemajuan di Tanah Papua, termasuk memperjuangkan hak-hak masyarakat sipil, terutama masyarakat adat di Tanah Papua melalui advokasi bersama yang menjadi tujuan awal pendiriannya.
Arah, strategi kelembagaan dan pengembangan program FOKER LSM Papua dimuat dalam visi, misi, nilai-nilai dasar dan strategi kerja. Terakhir kali arah, strategi kelembagaan dan pengembangan program FOKER dihasilkan pada strategi planning 2013 – 2018 berikut.
VISI, MISI, NILAI-NILAI DASAR DAN STRATEGI KERJA
VISI
Terwujudnya tata kehidupan sosial budaya, politik, hukum, ekonomi dan sumber daya alam yang adil, damai dan demokratis bagi masyarakat adat, baik perempuan maupun laki-laki di Tanah Papua.
MISI
NILAI-NILAI DASAR
Dalam menjalankan visi misinya, FOKER memiliki nilai-nilai dasar yang harus dipegang sebagai pedoman bagi setiap orang dalam melaksanakan strategi dan program berjaringan.
Nilai-nilai dasar FOKER adalah;
MANDAT SOSIAL DAN PRINSIP
MANDAT SOSIAL
Dalam pelaksanaan program dan mengelola manajemen kelembagaannya, yang menjadi mandat sosial bagi FOKER LSM, adalah:
PRINSIP
Prinsip yang harus dipegang teguh oleh FOKER dalam menjalankan visi misinya, merupakan prinsip-prinsip yang boleh dilakukan dan prinsip-prinsip yang tidak boleh dilakukan.
Prinsip-prinsip yang boleh dilakukan, antara lain:
Sedangkan prinsip-prinsip yang tidak boleh dilakukan oleh FOKER, antara lain:
ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PROGRAM
Arah dan strategi pengembangan program FOKER LSM Papua, terfokus pada: